CERITA PENDEK

Februari 10, 2025

Nama pena: Lunea-S
Ig : @xo.hy_sann

Iris berusia 24 tahun, seorang wanita muda dengan kehidupan yang sempurna. Jika orang lain harus bekerja keras tanpa jaminan kesuksesan, ia justru seperti dilahirkan dengan keberuntungan yang luar biasa. Segala yang ia inginkan, selalu datang padanya baik dalam karier, cinta, maupun kehidupan sosialnya.

Sebagai kepala divisi pemasaran di perusahaan startup teknologi yang sedang meroket, namanya menjadi pusat perhatian. Setiap proyek yang ia rancang selalu berujung sukses besar. Ia memenangkan tender-tender penting, menarik investor besar, dan bahkan mendapatkan penghargaan sebagai “Marketing Executive of the Year.”

Di kantor, semua orang menghormatinya. Para kolega sering berkata, “Iris, gimana sih caranya kamu selalu bisa bikin strategi yang nggak pernah gagal?”

Ia hanya tersenyum dan berkata, “Feeling aja. Kadang, ide-ide bagus datang kalau kita percaya diri.”

Tapi keberuntungannya tidak berhenti di situ. Dalam hidupnya, ada Adrian. Seorang dokter muda yang sukses, tampan, mapan, dan mencintainya dengan penuh ketulusan.

Mereka bertemu di sebuah seminar kesehatan mental yang diadakan oleh rumah sakit tempat Adrian bekerja. Iris awalnya hanya ikut karena ingin menambah wawasan, ia ingin memahami bagaimana psikologi pelanggan bekerja dalam dunia bisnis. Tapi siapa sangka, seminar itu justru mempertemukannya dengan pria yang akan mengubah hidupnya.

Setelah sesi seminar selesai, Adrian mendekatinya. “Kamu sepertinya bukan dari kalangan medis,” katanya sambil tersenyum.

Iris tertawa kecil. “Ketahuan, ya? Aku di dunia marketing, Cuma tertarik aja buat belajar soal psikologi manusia.”

Adrian mengangguk. “Menarik. Berarti kamu pasti orang yang jago membaca karakter orang lain.”

“Sedikit,” jawab Iris dengan percaya diri.

Obrolan mereka mengalir begitu alami. Dalam waktu singkat, mereka menjadi dekat. Adrian bukan hanya dokter yang penuh empati, tapi juga seseorang yang selalu membuat Iris merasa istimewa.

Saat ulang tahunnya yang ke-24, Adrian menyiapkan kejutan yang luar biasa. Ia menyewa sebuah restoran rooftop eksklusif di pusat kota, dengan pemandangan lampu-lampu metropolitan yang gemerlap.

Saat Iris datang, ia terpana melihat tempat itu dihiasi dengan bunga lili putih favoritnya. Musik jazz lembut mengalun, menciptakan suasana romantis yang sempurna.

Adrian berdiri di tengah ruangan, menatapnya dengan penuh cinta. “Selamat ulang tahun, Iris,” katanya sambil mengulurkan tangan.

Iris tersenyum lebar dan menggenggam tangannya. “Ini… luar biasa.”

Mereka makan malam dengan hidangan terbaik, bercanda, tertawa, dan berbicara tentang masa depan.

“Aku ingin kita selalu seperti ini,” kata Adrian, menggenggam tangannya lebih erat.

Iris menatap matanya. “Aku juga.” Hidupnya begitu sempurna. Terlalu sempurna.

Hingga sesuatu mulai berubah. Suatu malam, saat Iris tengah bersantai di apartemen mewahnya, ia mendengar suara samar.

“Iris…”

Ia menoleh. Tidak ada siapa pun. Jantungnya berdetak lebih cepat. Apakah itu hanya pikirannya yang lelah? Ia baru saja menyelesaikan presentasi besar di kantor, mungkin ini efek samping dari stres. Namun, semakin hari, suara itu semakin sering terdengar. Kadang hanya satu kata, namanya. Kadang lebih panjang.

“Iris, sayang… dengarkan Ibu…”

Ia mulai merasa tidak nyaman. Suatu malam, saat hendak tidur, suara itu menjadi lebih jelas.

“Iris, Ibu di sini…” Ia menutup telinganya, menatap sekeliling ruangan dengan gugup.

“Ini hanya stres,” bisiknya pada diri sendiri. Tapi suara itu tidak pergi.

Di kafe tempat ia dan Adrian sering bertemu, suara itu datang lagi.

“Iris… pulanglah…”

Ia tersentak dan menoleh ke sekeliling, tapi tidak ada siapa pun yang berbicara padanya.

Adrian yang duduk di depannya menatap dengan bingung. “Kamu kenapa?”

Iris menggeleng pelan, memaksakan senyum. “Nggak, Cuma… aku pikir tadi ada yang manggil aku.”

Adrian tertawa kecil. “Mungkin kamu terlalu lelah.”

Mungkin memang begitu. Tapi suara itu terus datang, semakin sering, semakin nyata. Suatu malam, Iris sedang berada di rumah Adrian. Mereka baru saja selesai makan malam bersama. Ia duduk di sofa, merasa tenang.

Namun, tiba-tiba kepalanya terasa berat. Seperti ada sesuatu yang menekan pikirannya. Lalu suara itu datang lagi.

“Iris… bangun, Nak…”

Ia menoleh ke Adrian. “Kamu dengar itu?”

“Dengar apa?”

“Ibu…”

Adrian mengernyit. “Ibumu?”

“Ibu memanggilku…”

Adrian menggenggam tangannya. “Sayang, kamu nggak apa-apa?”

Tapi Iris tidak menjawab. Dunia di sekitarnya mulai terasa… aneh. Seperti ada sesuatu yang tidak seharusnya di sana. Dan tiba-tiba, semuanya menghilang. Iris membuka matanya. Yang pertama ia lihat bukan Adrian. Bukan apartemen mewahnya. Melainkan seorang wanita paruh baya yang wajahnya dipenuhi kesedihan.

“Ibu?” suaranya lemah.

Wanita itu menangis. “Iris, Nak…”

Ia baru menyadari bahwa dirinya sedang duduk di ranjang rumah sakit. Dindingnya putih, kosong. Tidak ada restoran rooftop, tidak ada kantor, tidak ada Adrian. Hanya ada ibunya, seorang dokter, dan dunia yang terasa begitu asing.

“Ibu… apa yang terjadi?” tanyanya dengan suara serak.

Dokter yang berdiri di sampingnya menjelaskan pelan, “Iris, kamu mengalami schizophrenia residual. Kamu terjebak dalam dunia halusinasi kompleks selama bertahun-tahun.”

Iris mengerutkan kening. “Tidak… itu tidak mungkin. Aku punya kehidupan. Aku punya Adrian…”

Dokter itu menghela napas. “Adrian tidak nyata, Iris. Semua yang kamu alami… hanya ada dalam pikiranmu.”

Ia merasakan tubuhnya bergetar.

“Tidak…”

Ibunya menggenggam tangannya erat. “Sayang, Ibu selalu ada di sini. Ibu selalu berusaha memanggilmu.”

Iris menutup matanya, berharap saat ia membuka kembali, semuanya akan kembali seperti semula. Bahwa ia akan melihat Adrian tersenyum, bahwa ia akan bangun di apartemennya. Tapi saat ia membuka mata, yang ada hanya dunia nyata yang terasa begitu hampa.

Di luar ruangan, dokter berbicara dengan ibunya. “Kami sudah mencoba berbagai terapi antipsikotik, seperti risperidone dan olanzapine, juga terapi perilaku kognitif (CBT), tapi dia semakin menolak untuk kembali.”

Ibunya menahan tangis. “Jadi… tidak ada harapan?”

Dokter menunduk. “Setiap hari yang berlalu, kemungkinan dia melawan halusinasinya semakin kecil. Jika dia tidak ingin kembali, tubuhnya akan tetap di sini… tapi jiwanya akan terus berada di dunia yang ia ciptakan sendiri.”

Sementara itu, di dalam pikirannya, Iris kembali ke tempat yang paling ia kenal, sebuah pesta ulang tahun bersama Adrian, dengan semua orang tersenyum bahagia.

Dunia yang ia pilih. Dan untuknya, itu lebih dari cukup.